Mendungnya cuaca Bandung akhir-akhir ini membuat kegiatan menulis di Senemu terasa hangat. Pertemuan pertama minggu lalu, kami menghabiskan...

Mendungnya cuaca Bandung akhir-akhir ini membuat kegiatan menulis di Senemu terasa hangat. Pertemuan pertama minggu lalu, kami menghabiskan banyak waktu dengan berbincang. Melepas kangen setelah 2 tahun lebih tidak bertemu. Minggu ini hangatnya bertambah dengan kehadiran Pongpong dan Malik yang lucu. Sambil main, kami membicarakan demo 411 yang sedang ramai dimana-mana. Masing-masing punya pendapat dan teori seru tentang demo kemarin. Dari teori-teori inilah akhirnya diputuskan tema menulis sore itu: identitas.

Foto oleh Fadil M.

Cerita pertama dibacakan oleh Azisa, tentang seorang jomblo yang menciptakan sosok kekasih ideal untuknya sendiri. Sosok ini begitu nyata sampai teman-temannya percaya bahwa ia tak lagi jomblo. Namun di akhir cerita, Azisa menyelipkan twist tak terduga yang menggelitik kami untuk membahas berbagai kemungkinan sekuel cerita tersebut.

Disusul oleh cerita Fadil tentang seorang pemuda yang tergeletak di tengah jalan setelah dipukuli oleh kelompok anti etnis Tionghoa. Di akhir cerita, Fadil memaparkan bahwa pemuda tersebut sebenarnya seorang muslim dengan nama berbau Arab lewat KTP yang terjatuh di sampingnya.

Berikutnya giliran Prima yang menceritakan tentang kehidupan sehari-hari seorang mahasiswi dari mulai kegiatan di kampus sampai pulang ke tempat tinggalnya. Mendengar cerita Prima seperti mengenal dekat sosok mahasiswi yang ia ceritakan.

Selanjutnya giliran Sapta membacakan identitas yang ia tulis. Minggu ini ia menceritakan tentang sosok tak kasat mata yang senantiasa memperhatikan manusia dari atas. Suatu ketika ada anak kecil yang menyadari sosoknya kemudian bertanya tentang banyak hal. Di akhir cerita, Sapta mengisyaratkan identitas sosok tersebut.

Identitas yang diangkat oleh Zora adalah tentang sosok misterius. Sosok ini diceritakan sering menghubungi sang tokoh melalui email seolah-olah selalu memperhatikan dan mengagumi sang tokoh. Di akhir cerita, Zora membiarkan kami menebak-nebak siapa sosok misterius tersebut. Kami bercanda bahwa cerita Zora kalau digabung dengan cerita Azisa bisa jadi kisah misteri yang lengkap.
Setelah Zora, giliran Anggi membacakan ceritanya. Terinspirasi dari perjalanan ke Senemu, Anggi menggambarkan tokoh yang sekilas nampak glamor dengan lipstik merah membabi-buta yang ia kenakan. Namun di balik penampilan tersebut, sang tokoh menyimpan identitas lain yang ia keluarkan saat berbicara dengan anaknya di telepon.

Saya kebagian menutup pertemuan Sabtu ini dengan identitas terakhir. Identitas yang saya tulis adalah tentang sebuah rumah berwarna abu kusam.  Ia tinggal di lingkungan yang semua rumahnya berwarna-warni. Awalnya ia ingin berwarna ceria seperti tetangganya, namun pertemuannya dengan pria tua yang menempati dirinya, membuat ia menyukai warna abu kusam miliknya.

Ternyata dari obrolan singkat tentang identitas bisa muncul banyak cerita menarik. Tiap orang melihat identitas dari sudut pandang berbeda. Setelah dikembangkan jadi cerita, ternyata identitas cakupannya luas sekali. Sayang saya harus pamit duluan, terbayang serunya menyambung obrolan ditengahi hujan gerimis dan secangkir kopi panas di ketinggian Dago.

Flickr Images

recent posts