Sabtu ini Senemu cukup ramai. Kami bertujuh duduk melingkari meja panjang yang disusun khusus untuk kegiatan menulis. Sebenarnya kami datan...

Sabtu ini Senemu cukup ramai. Kami bertujuh duduk melingkari meja panjang yang disusun khusus untuk kegiatan menulis. Sebenarnya kami datang sejak sore, namun perbincangan seru membuat kami tak juga menulis hingga hari menjelang petang. Setelah tak juga menemukan tema yang pas, kami memutuskan untuk latihan melanjutkan prompt. Dari tiga prompt yang diajukan, kebetulan prompt saya yang terpilih sebagai tema malam ini. Prompt ini bercerita tentang seorang anak yang tiba-tiba bertemu seekor kucing yang dapat berbicara. Tak sabar rasanya mendengarkan cerita teman-teman, pasti luar biasa!

Pembacaan dibuka oleh Rizal dengan cerita yang membuat kami berkaca-kaca. Cerita Rizal diawali dialog seorang anak dengan seekor kucing, kemudian diakhiri dengan monolog ibu dari anak tersebut. Monolog inilah yang membuat kami tak sanggup menahan haru.

Cerita berikutnya dari Dani. Dani memilih bercerita dari sudut pandang seekor kucing bernama Oren. Bagaimana takjubnya ia ketika bertemu dengan seorang manusia yang dapat berbicara!

Sementara itu, Uli bercerita tentang induk kucing yang tak putus berdoa agar anaknya dapat berubah menjadi manusia. Menurut induk kucing tersebut, manusia adalah makhluk paling sempurna yang tak mungkin melahirkan lima anak sekaligus kemudian kehilangan empat diantaranya karena air hujan. Di akhir cerita, Uli menambahkan twist yang membuat kami meringis.

Berikutnya giliran Sapta bercerita. Nuansa setting post-apocalytic tak bisa lepas dari benak saya saat ia menggambarkan situasi tempat tinggal seorang anak kecil yang hacur oleh bom. Anehnya, setelah kejatuhan bom, semua makhluk hidup di tempat itu dapat berbicara. Mulai dari pepohonan hingga hewan saling menyerang hingga tersisa seorang anak kecil dan seekor kucing hitam saja.

Setelah mendengarkan cerita post-apocalypse, kami dibawa kembali ke dunia keseharian saat Prima menceritakan tentang seekor kucing yang suka meminta permen. Di akhir cerita, ia membuka tabir kucing tersebut.

Seperti sebelumnya, saya kebagian menutup acara menulis Sabtu ini. Saya menulis tentang kucing jadi-jadian yang sedang berwisata ke bumi, kemudian bertemu anak kecil di kegelapan malam.

Setelah pembacaan cerita selesai, kami membahas kesulitan menulis malam ini. Hampir semua sepakat bahwa ide kucing ini memang sangat menarik. Namun ide yang terlalu menarik justru sulit dikembangkan, karena kami terlalu semangat mengeksplor ide cerita di kepala sementara waktu menulis semakin menipis.

Mendungnya cuaca Bandung akhir-akhir ini membuat kegiatan menulis di Senemu terasa hangat. Pertemuan pertama minggu lalu, kami menghabiskan...

Mendungnya cuaca Bandung akhir-akhir ini membuat kegiatan menulis di Senemu terasa hangat. Pertemuan pertama minggu lalu, kami menghabiskan banyak waktu dengan berbincang. Melepas kangen setelah 2 tahun lebih tidak bertemu. Minggu ini hangatnya bertambah dengan kehadiran Pongpong dan Malik yang lucu. Sambil main, kami membicarakan demo 411 yang sedang ramai dimana-mana. Masing-masing punya pendapat dan teori seru tentang demo kemarin. Dari teori-teori inilah akhirnya diputuskan tema menulis sore itu: identitas.

Foto oleh Fadil M.

Cerita pertama dibacakan oleh Azisa, tentang seorang jomblo yang menciptakan sosok kekasih ideal untuknya sendiri. Sosok ini begitu nyata sampai teman-temannya percaya bahwa ia tak lagi jomblo. Namun di akhir cerita, Azisa menyelipkan twist tak terduga yang menggelitik kami untuk membahas berbagai kemungkinan sekuel cerita tersebut.

Disusul oleh cerita Fadil tentang seorang pemuda yang tergeletak di tengah jalan setelah dipukuli oleh kelompok anti etnis Tionghoa. Di akhir cerita, Fadil memaparkan bahwa pemuda tersebut sebenarnya seorang muslim dengan nama berbau Arab lewat KTP yang terjatuh di sampingnya.

Berikutnya giliran Prima yang menceritakan tentang kehidupan sehari-hari seorang mahasiswi dari mulai kegiatan di kampus sampai pulang ke tempat tinggalnya. Mendengar cerita Prima seperti mengenal dekat sosok mahasiswi yang ia ceritakan.

Selanjutnya giliran Sapta membacakan identitas yang ia tulis. Minggu ini ia menceritakan tentang sosok tak kasat mata yang senantiasa memperhatikan manusia dari atas. Suatu ketika ada anak kecil yang menyadari sosoknya kemudian bertanya tentang banyak hal. Di akhir cerita, Sapta mengisyaratkan identitas sosok tersebut.

Identitas yang diangkat oleh Zora adalah tentang sosok misterius. Sosok ini diceritakan sering menghubungi sang tokoh melalui email seolah-olah selalu memperhatikan dan mengagumi sang tokoh. Di akhir cerita, Zora membiarkan kami menebak-nebak siapa sosok misterius tersebut. Kami bercanda bahwa cerita Zora kalau digabung dengan cerita Azisa bisa jadi kisah misteri yang lengkap.
Setelah Zora, giliran Anggi membacakan ceritanya. Terinspirasi dari perjalanan ke Senemu, Anggi menggambarkan tokoh yang sekilas nampak glamor dengan lipstik merah membabi-buta yang ia kenakan. Namun di balik penampilan tersebut, sang tokoh menyimpan identitas lain yang ia keluarkan saat berbicara dengan anaknya di telepon.

Saya kebagian menutup pertemuan Sabtu ini dengan identitas terakhir. Identitas yang saya tulis adalah tentang sebuah rumah berwarna abu kusam.  Ia tinggal di lingkungan yang semua rumahnya berwarna-warni. Awalnya ia ingin berwarna ceria seperti tetangganya, namun pertemuannya dengan pria tua yang menempati dirinya, membuat ia menyukai warna abu kusam miliknya.

Ternyata dari obrolan singkat tentang identitas bisa muncul banyak cerita menarik. Tiap orang melihat identitas dari sudut pandang berbeda. Setelah dikembangkan jadi cerita, ternyata identitas cakupannya luas sekali. Sayang saya harus pamit duluan, terbayang serunya menyambung obrolan ditengahi hujan gerimis dan secangkir kopi panas di ketinggian Dago.

Flickr Images

recent posts